Minggu, 16 Januari 2011

Anak Jalanan


Tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama, tidak seperti kita anak-anak yang dapat merasakan pendidikan, semua teknologi yang ada (handphone, televisi, laptop, dll), jangan itu bahkan ada diantara mereka yang tidak pernah merasakan kasih sayang hangat sentuhan orang tua. Ya, mereka adalah anak jalanan. Anak-anak yang hidup dijalan, besar dijalan, bahkan mencari makan dijalan. Mereka hidup dari belas kasih orang-orang yang rela memberikan uang receh nya kepada mereka. Miris, tapi itu lah yang selama ini berlangsung di depan mata kita. Berbagai upaya pemrintah dan personal telah dilakukan guna untuk menekan laju peningkatan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Tetapi tetap saja tidak berpengaruh banyak.
Gelandangan dan Pengemis
Gelandangan bisa dikategorikan sebagai orang yang tunawisma atau tidak punya tempat tinggal tetap sehingga kehidupannya berpindah-pindah hanya untuk tidur dan sebagainya. Kalau kita perhatikan banyak sekali di jembatan penyeberangan, di pasar dan dimana tempat kita sering menemukan pemandangan orang dengan baju kumal menengadahkan tanganya untuk meminta-minta. Mengemis tapi juga menggelandang. Dengan senjata anak kecil yang mungkin malah bukan anaknya, mereka meminta sedekah atau bahkan dengan berpura-pura mempunyai luka yang tidak sembuh-sembuh. Ya mereka menengadahkan tangan hanya untuk rupiah.
Sebenarnya tidak apa-apa sih kalau memang mereka benar-benar membutuhkan. Kalau menuruti hati nurani, sebenarnya mengemis itu memalukan dan tidak ada yang mau mengemis. Akan tetapi kalau mengemis sudah jadi mata pencaharian bagaimana?
Nah ini dia yang harus di cari solusinya. Siapa yang bertanggungjawab? Seharusnya pemerintah yang paling bertanggungjawab.
Coba kita perhatikan disetiap mesjid ketika solat Jumat berjejer pengemis menengadahkan tangannya padahal kan seharusnya mereka itu tanggungjawab pemerintah. harus ada hukum yang mengatur tentang pengemis. Kalau sudah menjadi mata pencaharian, secara tidak langsung akan terjadi generasi yang terus menerus sebagai pengemis. Bayangkan bapak dan ibunya mengemis, anaknya juga ikut-ikutan jadi pengemis, begitu seterusnya. Regenerasi yang memalukan.
Pengemis bukan lagi fenomena sosial dari orang-orang yang kekurangan akan tetapi sudah menjadi mata pencaharian bagi sebagian orang. Sehingga mengemis bukanlah pekerjaan yang tabu lagi.

Pemulung
Pemulung bisa dikagorikan sebagai sampah masyarakat enggak? Kalau menurut saya enggak. Justru pemulung adalah pekerjaan yang lebih terhormat dibanding mengemis dan menggelandang. Mereka adalah mata rantai dari suatu siklus kehidupan dengan mencari barang-barang yang tidak terpakai tapi bisa didaur ulang.
Artinya meski tampilan mereka lusuh, hitam dan sebagainya akan tetapi mereka adalah pekerja keras. Dari subuh mereka sudah bangun, untuk mencari barang-barang dan begitu siang mereka istirahat sambil memilah barang-barang hasil dari pemulungannya.
Pemulung lebih mulia karena mereka salah satu penyelamat lingkungan, keseimbangan lingkungan terbantu dengan adanya pemulung. Memang Pemulung juga banyak yang tidak punya rumah, alias mendirikan bedeng hanya untuk tidur, akan tetapi setidaknya kerja keras mereka patut dihargai.
Baik gelandangan, pengemis dan pemulung mereka mempunyai kaitan erat yaitu lusuh dan kotor akan tetapi ketiganya jelas berbeda.
sumber : http://jejakandromeda.wordpress.com/2008/06/05/gelandangan-pengemis-dan-pemulung/